Rss Feed
  1. "YA"

    Saturday, September 18, 2010

    Perjalanan dua jam dari Dukuh Paruk terasa amat menekan. Ketegangan yang meliputi hatiku hampir berakhir ketika becak berhenti di gerbang rumah sakit tentara. Seorang sipil yang kebetulan ada dalam gardu jaga kuminta mendekat. Srintil kami papah masuk, langsung ke bangsal perawatan penyakit jiwa.

    Ya, Tuhan! Karena Srintil terus meronta maka sebuah kamar berpintu besi dibuka untuknya. Ketika petugas menguncinya dengan sebuah gembok besar air mataku meleleh.

    Kepala bangsal memanggilku untuk minta keterangan dan data tentang Srintil. Kukatakan semuanya, terutama bahwa akulah yang menanggung segala biaya perawatan. Tetapi lidahku tiba-tiba kelu ketika petugas bertanya tentang hubunganku dengan Srintil.

    "Istri?"

    "Bukan. Aku masih bujangan."

    "Adik?"

    "Bukan. Hanya saudara."

    "Hanya saudara?"

    Aku diam dan menunduk. Ada angin beliung berpusar keras dalam kepalaku.
    Dan beliung itu berubah menjadi badai yang amat dahsyat karena aku mendengar Srintil melolong-lolong dalam kamar yang persis kerangkeng.
    Satu-satu diserunya nama orang Dukuh Paruk dan namakulah yang paling sering disebutnya. Aku merasa saat itu keberadaanku adalah nurani tanah airku yang kecil, Dukuh Paruk.
    Aku adalah hati ibu yang remuk karena mendengar seorang anaknya melolong dan meratap dalam kematian yang jauh lebih dahsyat daripada maut.

    Samar , samar sekali, kulihat petugas rumah sakit itu tersenyum. Oh, tidak salah bila seseorang yang sedang berdiri di depanku tidak mengerti tentang gempa luar biasa yang sedang mengguncang jiwaku. Dengarlah kata-katanya yang seloroh.

    "Wah, sayang. Sungguh sayang. Sepintas kulihat dia memang, wah. Bisa kubayangkan kecantikannya di kala dia sehat.
    Lalu maafkan aku, Mas. Dia bukan istri, bukan pula adik sampean. Maaf.
    Pasien itu calon istri sampean barangkali?"

    "Ya!"

    Hening. Tiba-tiba semuanya menjadi bening dan enteng. Oh, lega. Lega.
    Keangkuhan, atau kemunafikan yang selama ini berdiri angkuh di hadapanku telah kurobohkan hanya dengan sebuah kata yang begitu singkat.
    Segalanya menjadi ringan seperti kapuk ilalang.
    Aku bisa mendengar semua bisik hati yang paling lirih sekalipun.
    Aku dapat melihat mutiara-mutiara jiwa dalam lubuk yang paling pingit.

    Kemudian, siapa saja bakal percuma bila ingin tahu motivasi di balik keputusanku.
    Mungkin orang akan mengatakan, karena cinta yang demikian dalam maka aku memutuskan hendak mengawini Srintil meski dia kini dalam keadaan tanpa martabat kemanusiaan.
    Itu pikiran umum dan wajar.
    Namun bagiku jalan pikiran demikian amat sepele dan terlalu bersahaja.

    'Ya' yang kuucapkan tidak berlatar sikap jiwa yang sentimental, tidak melankolik apalagi emosional.
    Ya' yang kuucapkan adalah wakil dari kebeningan jiwa, wakil dari warna dasar totalitas diri yang sudah sekian lama mencoba menyesuaikan diri dengan keselarasan agung.
    Dia tidak berada jauh dari titik puncak piramida kesadaranku, sejajar dengan garis kudus yang menghubungkan keberadaanku dengan keberadaan Ilahi.
    Maka keputusanku amat sah, teduh, dan tenang.
    Setenang aliran sungai manakala dia menyentuh kedalaman samudra.

    ***

    sepenggal kisah akhir Jantera Bianglala yang terdapat dalam buku terakhir triloginya Ronggeng Dukuh Paruk, cukup membuat saya..

    mm..

    deg-degan.

    saya memang baru baca novel ini sekali.
    lalu tugas bahasa Indonesia mengharuskan saya, minimal buka-buka, liat sekilas..
    apa ya istilahnya?
    skimming kalo ga salah.

    ya gitu deh.

    minimal buka-buka awal tengah akhir buat tahu keseluruhan cerita kira-kira gimana.
    nah, cerita yang saya kutip tadi, pas banget di bagian akhir Jantera Bianglala.

    saya baca..
    trus saya baca..
    saya baca lagi.

    ya ampun.
    salut deh sama Bapak Ahmad Tohari.

    kisah Ronggeng Dukuh Paruk memang luar biasa.
    mulai dari ceritanya, kisah si tokoh utama yang bener-bener rollercoaster (ternyata post-post saya yang dulu, yang banyak tentang gagalauan geje, kayanya ga ada apa-apanya dibanding Srintil di sini), dan rangkaian katanya yang bisa bikin (mungkin) pembacanya langsung..

    deg.

    nancep gitu maksudnya.

    nah kalau buat saya, salah satunya adalah bagian itu.

    mungkin kalau saya yang bikin cerita, saya hanya bilang kalau "YA" yang diucapkan Rasus itu berupa "YA yang kuucapkan adalah ya yang tulus"
    titik.

    tapi Pak Ahmad dengan luar biasa bilang begini..

    Ya' yang kuucapkan adalah wakil dari kebeningan jiwa, wakil dari warna dasar totalitas diri yang sudah sekian lama mencoba menyesuaikan diri dengan keselarasan agung.

    saya sendiri mungkin bingung apanya yang luar biasa.
    tapi bener deh, begitu saya baca satu paragraf tentang makna kata "YA" yang cuma dua abjad itu, kata "YA" itu seperti satu kata yang bener-bener berasal dari hati pikiran paling dalam, bukan sekedar kata "YA" asal-asalan, "YA" yang sekedar ya dan sambil lalu, "YA" yang sesungguhnya.

    "YA" yang tulus.

    saya membayangkan kalau tiap mama nyuruh mandi, ambilin barang, belajar..
    kalau saya bilang "YA" yang bener-bener gitu hebat kali ya.
    haha.

    yaa mungkin beda kasus sih.
    Rasus bilang "YA" di sini adalah untuk sesuatu yang mungkin bakal mengubah hidupnya.
    suatu hal di mana perlu pemikiran dan keyakinan yang dalam juga.

    tapi kalau setiap pertanyaan yang sebetulnya butuh jawaban "YA" bisa mewakili kebeningan jiwa..
    kayanya enak ya.
    apa-apa tulus dan pasti jadinya.
    pasti beda juga kedengerannya kalau denger "YA" kaya gitu.

    haha.

    random ya?

    ya itu sekedar pemikiran saya aja, ingin sekedar berbagi.
    tapi saya bener kagum sama Pak Ahmad.

    harus bangga Indonesia punya sastrawan seperti beliau.


    *kalau ada yang mau baca trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, ini ada link ebooknya..
    RONGGENG DUKUH PARUK (EBOOK)*

  2. 0 comments: